Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah Hadits berikut ini shahih? Apakah hadits ini menunjukkan boleh be-tawasul dengan kebesaran para wali? Hadits yang dimaksud adalah: "Apabila terjadi kekeringan pada masayarakat, Umar bin Khaththab memohon turun hujan dengan perantaraan Abbas bin Abdul Muthallib.Beliau berdo'a "Ya Allah dahulu kami biasa bertawasul kepadaMu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami.Sekarang kami bertawasul kepadaMu dengan paman Nabi kami.Oleh karena itu,turunkanlah hujan kepada kami". Kata rawi. "Masyarakat lalu dituruni hujan". [Bukari no.1010 Kitabul Istisqo]
Jawaban.
Hadits yang dimaksud oleh penanya adalah hadits shahih riwayat Bukhari. Akan tetapi, siapa saja yang memperhatikan hadits tersebut akan mengetahui bahwa hadits ini tidak menunjukkan adanya tawasul dengan keagungan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam atau yang lain.
Tawasul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara. Perantara ialah sesuatu yang dijadikan sarana memperoleh yang dimaksud. Perantara yang dimaksud didalam hadits ini ialah kata-kata:
"Kami biasa bertawasul kepadaMu dengan Nabi kami,lalu Engkau turunkan hujan kepada kami.Sekarang kami bertawasul kepadaMu dengan paman Nabi kami. Oleh karena itu, turunkanlah hujan kepada kami"
Maksudnya ialah mengambil perantara untuk berhubungan dengan Allah memalui do'a Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana pernah dikatakan oleh shahabat:
"Wahai Rasulullah,harta telah binasa,jalan-jalan rusak. Oleh karena itu, berdo'alah kepada Allah untuk menurunkan hujan kepada kami."
Umar berkata kepada Abbas : "Wahai Abbas, berdirilah kemudian berdo'alah kepada Allah, Abbas lalu berdo'a"
Sekiranya hal seperti ini dikatakan sebagai tawasul dengan Keagungan (kebesaran) seseorang, tentulah Umar akan bertawasul dengan keagungan (kebesaran) Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebelum bertawasul dengan Abbas. Hal ini karena keagungan nabi Shalallahu alaihi wa sallam lebih tinggi daripada kebesaran Abbas dan lain-lain.Jika hadits ini dianggap sebagai tawasul dengan keagungan seseorang, sudah tentu Amirul Mukminin Umar lebih patut bertawasul dengan keagungan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bukan dengan keagungan (kebesaran) Abbas bin Abdul Muthallib.
Jelasnya, tawasul kepada Allah melalui do'a orang yang diharapkan terkabulnya do'anya karena keshalihannya tidaklah mengapa. Demikianlah, karena shahabat-shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dahulu biasa bertawasul dengan do'a Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang memohonkan sesuatu yang mereka minta dari Allah untuk mereka. Begitu pula Umar bertawasul dengan do'a Abbas bin Abdul Muthallib.
Bila anda mengetahui seseorang shalih yang do'anya diharapkan terkabul karena ia selalu menjaga dirinya dengan yang halal dalam makan, minum, pakaian dan tempat tinggalnya serta dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan taqwa, maka tidaklah mengapa anda memintanya untuk berdo'a bagi anda dalam urusan yang anda inginkan dengan syarat anda tidak boleh melakukan pemaksaan atau memberikan ancaman terhadap orang yang anda minta untuk berdo'a itu.Apabila terjadi pemaksaan atau ancaman, maka hal itu tidak halal, apalagi jika ancaman akan membunuh atau membinasakannya,karena perbuatan seperti itu membahayakannya.
Seperti juga telah kami katakan bahwa tawasul seperti ini boleh. Akan tetapi saya tidak menyukainya.Saya berpendapat bahwa hendaklah seseorang langsung memohon sendiri kepada Allah tanpa adanya perantara antara dirinya dengan Allah.Hal seperti ini lebih besar harapannya untuk dikabulkan dan lebih menciptakan rasa takut kepada Allah.
Hal ini seperti halnya seseorang yang meminta kepada saudaranya -yang do'anya diharapkan terkabul- untuk mendoakannya dengan niat berbuat baik kepadanya bukan karena desakannya.Jika ia melakukannya karena desakan maka yang terjadi adalah seperti orang yang mengemis atau perilaku serupa yang tercela.Akan tetapi, jika hal tersebut dimaksudkan untuk berbuat baik dan membantu saudaranya ,sedangkan membantu seorang muslim akan mendapatkan pahala seperti yang sama-sama kita ketahui,amaka perbuatan seperti ini lenih utama dan lebih baik.Wallahu waliyyut taufik.
[Syaikh Utsaimin, Fatawaa Al Aqiidah : halaman 267-270]
[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar'iyyah Fil Masaail Al Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa Al Balaadil Haraami, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, terbitan Media Hidayah]
di copi dr http://www.almanhaj.or.id/content/803/slash/0
0 komentar:
Posting Komentar