Sabtu, 05 Oktober 2013

Ahlus Sunnah Tidak Harus Selalu Berjubah


 Fenomena di kalangan Penuntut ilmu yang masih menganggap tanpa gamis dan jubah tidak afdhol "memandang sebelah mata ikhwan yg tidak bergamis".  tp kan saya punyanya batik mas..  :D

Sebagian saudara kita yang menisbahkan diri kepada Sunnah dan Manhaj Ahlussunnah Waljamaah punya prinsip: "Pokoknya harus berjubah. Atau bergamis. Kalau tidak pake jubah atau gamis, perlu dipertanyakan tuh Manhajnya. Ahlussunnah Waljamaah beneran apa cuman abal-abal ??!"

Kemana-mana dia pakai jubah. Ke Masjid, ke pasar, ke kantor, ke sawah, ke terminal, naik kereta, naik bus, naik pesawat, ke rumah sakit, kemanaaa saja pakai jubah. Baginya, jubah seolah menjadi pakaian ciri khas seorang Ahlus Sunnah. Tidak afdhol kalau tidak pakai jubah. Ironisnya lagi, dia kemudian mencela saudaranya yang tidak memakai jubah. Bahkan meragukan Manhaj saudaranya sesama Ahlus Sunnah hanya karena jubah.

Fayaa aasafa.........Benarkah demikian

Mari kita duduk sejenak. Kita buka mata dan hati kita. Coba kita cerna dengan hati, bukan dengan emosi, Kalam Dzahabiy (ucapan emas) dari Ulama berikut ini:

---> Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
"Sikap komitmen dengan model pakaian tertentu, baik model pakaian tersebut secara syariat mubah atau makruh, dimana memakai pakaian model tersebut dianggap sebagai bagian dari agama, atau sebagai sesuatu yang dianjurkan, atau diyakini sebagai simbol pakaian orang-orang shalih, maka ini termasuk perkara bid'ah."(AL-ISTIQOMAH: 1/260)

Beliau juga menjelaskan:
"Para kekasih Allah itu tidaklah memiliki ciri khas tertentu dalam penampilan lahiriyah yang membedakan mereka dari kebanyakan anggota masyarakat, selama hal tersebut masih dalam batasan hukum mubah. Mereka tidaklah memiliki ciri berupa model pakaian tertentu, selama model pakaian tersebut hukumnya mubah dalam timbangan syariat. Mereka juga tidak memiliki ciri khas berupa berkepala gundul atau potongan rambut yang pendek, ataupun kondisi kuku tertentu, selama itu semua hukumnya mubah dalam tinjauan syariat."(ALFURQON BAINA AULIYAA'IR ROHMAAN WA AULIYAA'ISY SYAITHOON: 65-66)

---> Al-Imam Ibnul Jauziy rahimahullah menuturkan:
"Semua model pakaian yang menyebabkan orang yang mengenakannya menjadi bahan perbincangan orang banyak, hukumnya makruh."

Beliau juga menukilkan kisah:
" 'Abdullah Ibnul Mubarok tengah memakai qolansuwah (peci) pada hari Jum'at. Namun ternyata di masjid yang beliau masuki tak ada seorangpun yang memakai qolansuwah. Maka beliau melepas qolansuwahnya, dan beliau sembunyikan di lengan bajunya.”(TALBIS IBLIS: 237)

MasyaAllah.......para Ulama yang mendalam keilmuannya begitu arif bijaksananya. Mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam ilmu dan amal. Bersamaan dengan itu, mereka tidak ghuluw dalam menghukumi segala sesuatu. Yang tidak boleh tetap mereka katakan tidak boleh. Yang boleh pun tetap mereka yakini boleh. 

Tidak seperti sebagian saudara kita hari ini. Semangat beragama, namun tidak dibarengi dengan ilmu yang mendalam, wawasan fiqih yang luas, dhowabith yang kokoh, serta hikmah yang indah. Jadilah mereka sekelompok kaum yang melampaui batas. Hingga seolah mewajibkan apa yang tidak wajib. Menganggap aib apa yang bukan aib. Menilai buruk apa yang belum tentu buruk.

Lebih ironi lagi, mereka kemudian menghakimi dan menghukumi saudaranya yang tidak sejalan dengan pemahaman fiqihnya. Memvonis sesat siapa saja yang tidak sejalur dengan cara beragamanya. Hingga mengait-kaitkan ranah fiqih yang sejatinya luas dan penuh toleransi kepada timbangan Manhaj yang dengannya seseorang bisa dinyatakan lurus atau menyimpang. Masa' iya hanya karena jubah/gamis lantas seseorang didepak dari wilayah Ahlussunnah? Bagaimana jika terkait fiqih yang lebih dramatis dari sekedar persoalan jubah/gamis? Adakah yang akan tersisa dari barisan Ahlussunnah??

Saya pribadi juga cinta dengan jubah/gamis. Pada moment-moment tertentu yang sekiranya aman dari fitnah saya gemar pakai jubah/gamis. Terutama saat kajian atau ada acara perkumpulan dengan ikhwan.

Namun, saya tidak menjadikan jubah/gamis sebagai pakaian paten plus pakem plus harga mati dalam berbusana. Saya tidak merasa tidak afdhol meskipun tidak pakai jubah/gamis. Saya tidak meyakini jubah/gamis sebagai pakaian khusus atau ciri khas Ahlussunnah; yang tidak memakainya berarti seolah berkurang nilai Ahlussunnah-nya. Alhamdulillah tidak demikian.

Saya berusaha berjalan sesuai bimbingan Ulama. Termasuk dalam hal berbusana. Yakni, agar berpakaian sesuai 'urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Saya juga merasa baik-baik saja saat berkumpul dengan masyarakat saya pakai celana biasa (tidak ketat) dan baju kemeja. Saat sholat ke masjid pun saya lebih sering mengenakan sarung plus baju koko, atau baju kemeja lengan panjang atau pendek. Ini masih dalam batasan syar'i untuk pakaian laki-laki. Alhamdulillah ini semua menjadi satu sebab kita bisa bermuamalah dengan baik bersama masyarakat. Mereka tidak phobi atau antipati dengan kita hanya karena melihat cara berpakaian yang tidak jama' di masyarakat.

Alkhulashoh.......
Menjadi Ahlussunnah tidak harus ribet dengan pakaian kok. Tidak harus berjubah atau bergamis.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free Themes | Bloggerized by Toko Kami - Blogger Themes | international calls