Fenomena di kalangan Penuntut ilmu yang masih menganggap tanpa gamis dan jubah tidak afdhol "memandang sebelah mata ikhwan yg tidak bergamis". tp kan saya punyanya batik mas.. :D
Sebagian
saudara kita yang menisbahkan diri kepada Sunnah dan Manhaj Ahlussunnah
Waljamaah punya prinsip: "Pokoknya harus berjubah. Atau bergamis. Kalau
tidak pake jubah atau gamis, perlu dipertanyakan tuh Manhajnya. Ahlussunnah
Waljamaah beneran apa cuman abal-abal ??!"
Kemana-mana
dia pakai jubah. Ke Masjid, ke pasar, ke kantor, ke sawah, ke terminal, naik
kereta, naik bus, naik pesawat, ke rumah sakit, kemanaaa saja pakai jubah.
Baginya, jubah seolah menjadi pakaian ciri khas seorang Ahlus Sunnah. Tidak
afdhol kalau tidak pakai jubah. Ironisnya lagi, dia kemudian mencela saudaranya
yang tidak memakai jubah. Bahkan meragukan Manhaj saudaranya sesama Ahlus
Sunnah hanya karena jubah.
Fayaa
aasafa.........Benarkah demikian
Mari kita
duduk sejenak. Kita buka mata dan hati kita. Coba kita cerna dengan hati, bukan
dengan emosi, Kalam Dzahabiy (ucapan emas) dari Ulama berikut ini:
---> Syaikhul Islam rahimahullah
berkata:
"Sikap
komitmen dengan model pakaian tertentu, baik model pakaian tersebut secara
syariat mubah atau makruh, dimana memakai pakaian model tersebut dianggap
sebagai bagian dari agama, atau sebagai sesuatu yang dianjurkan, atau diyakini
sebagai simbol pakaian orang-orang shalih, maka ini termasuk perkara
bid'ah."(AL-ISTIQOMAH: 1/260)
Beliau juga
menjelaskan:
"Para
kekasih Allah itu tidaklah memiliki ciri khas tertentu dalam penampilan
lahiriyah yang membedakan mereka dari kebanyakan anggota masyarakat, selama hal
tersebut masih dalam batasan hukum mubah. Mereka tidaklah memiliki ciri berupa
model pakaian tertentu, selama model pakaian tersebut hukumnya mubah dalam
timbangan syariat. Mereka juga tidak memiliki ciri khas berupa berkepala gundul
atau potongan rambut yang pendek, ataupun kondisi kuku tertentu, selama itu
semua hukumnya mubah dalam tinjauan syariat."(ALFURQON BAINA AULIYAA'IR
ROHMAAN WA AULIYAA'ISY SYAITHOON: 65-66)
---> Al-Imam Ibnul Jauziy rahimahullah menuturkan:
---> Al-Imam Ibnul Jauziy rahimahullah menuturkan:
"Semua
model pakaian yang menyebabkan orang yang mengenakannya menjadi bahan
perbincangan orang banyak, hukumnya makruh."
Beliau juga
menukilkan kisah:
"
'Abdullah Ibnul Mubarok tengah memakai qolansuwah (peci) pada hari Jum'at.
Namun ternyata di masjid yang beliau masuki tak ada seorangpun yang memakai
qolansuwah. Maka beliau melepas qolansuwahnya, dan beliau sembunyikan di lengan
bajunya.”(TALBIS IBLIS: 237)
MasyaAllah.......para
Ulama yang mendalam keilmuannya begitu arif bijaksananya. Mereka adalah
orang-orang yang terdepan dalam ilmu dan amal. Bersamaan dengan itu, mereka
tidak ghuluw dalam menghukumi segala sesuatu. Yang tidak boleh tetap mereka
katakan tidak boleh. Yang boleh pun tetap mereka yakini boleh.
Tidak seperti
sebagian saudara kita hari ini. Semangat beragama, namun tidak dibarengi dengan
ilmu yang mendalam, wawasan fiqih yang luas, dhowabith yang kokoh, serta hikmah
yang indah. Jadilah mereka sekelompok kaum yang melampaui batas. Hingga seolah
mewajibkan apa yang tidak wajib. Menganggap aib apa yang bukan aib. Menilai
buruk apa yang belum tentu buruk.
Lebih ironi
lagi, mereka kemudian menghakimi dan menghukumi saudaranya yang tidak sejalan
dengan pemahaman fiqihnya. Memvonis sesat siapa saja yang tidak sejalur dengan
cara beragamanya. Hingga mengait-kaitkan ranah fiqih yang sejatinya luas dan
penuh toleransi kepada timbangan Manhaj yang dengannya seseorang bisa dinyatakan
lurus atau menyimpang. Masa' iya hanya karena jubah/gamis lantas seseorang
didepak dari wilayah Ahlussunnah? Bagaimana jika terkait fiqih yang lebih
dramatis dari sekedar persoalan jubah/gamis? Adakah yang akan tersisa dari
barisan Ahlussunnah??
Saya pribadi
juga cinta dengan jubah/gamis. Pada moment-moment tertentu yang sekiranya aman
dari fitnah saya gemar pakai jubah/gamis. Terutama saat kajian atau ada acara
perkumpulan dengan ikhwan.
Namun, saya tidak menjadikan jubah/gamis sebagai pakaian paten plus pakem plus harga mati dalam berbusana. Saya tidak merasa tidak afdhol meskipun tidak pakai jubah/gamis. Saya tidak meyakini jubah/gamis sebagai pakaian khusus atau ciri khas Ahlussunnah; yang tidak memakainya berarti seolah berkurang nilai Ahlussunnah-nya. Alhamdulillah tidak demikian.
Namun, saya tidak menjadikan jubah/gamis sebagai pakaian paten plus pakem plus harga mati dalam berbusana. Saya tidak merasa tidak afdhol meskipun tidak pakai jubah/gamis. Saya tidak meyakini jubah/gamis sebagai pakaian khusus atau ciri khas Ahlussunnah; yang tidak memakainya berarti seolah berkurang nilai Ahlussunnah-nya. Alhamdulillah tidak demikian.
Saya berusaha
berjalan sesuai bimbingan Ulama. Termasuk dalam hal berbusana. Yakni, agar
berpakaian sesuai 'urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Saya juga merasa
baik-baik saja saat berkumpul dengan masyarakat saya pakai celana biasa (tidak
ketat) dan baju kemeja. Saat sholat ke masjid pun saya lebih sering mengenakan
sarung plus baju koko, atau baju kemeja lengan panjang atau pendek. Ini masih
dalam batasan syar'i untuk pakaian laki-laki. Alhamdulillah ini semua menjadi
satu sebab kita bisa bermuamalah dengan baik bersama masyarakat. Mereka tidak
phobi atau antipati dengan kita hanya karena melihat cara berpakaian yang tidak
jama' di masyarakat.
Alkhulashoh.......
Menjadi Ahlussunnah tidak harus ribet dengan pakaian kok. Tidak harus berjubah atau bergamis.
Menjadi Ahlussunnah tidak harus ribet dengan pakaian kok. Tidak harus berjubah atau bergamis.
0 komentar:
Posting Komentar