Yang harus kujalani dari seorang wanita awam sehingga mengenal ilmu agama islam yang syar'i. cuplikan (“Apapun
alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau sampai pakai cadar, kamu jadi
anak durhaka sama bapak!!!”
Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.)
Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.)
kisah ku..
Cadar… Satu
kata yang dulu sempat membuat diriku takut untuk mendekati orang-orang yang
memakainya. “Mungkin mereka jelek, makanya menutupi wajahnya, atau mungkin dia
mempunyai gigi taring seperti drakula ataukah mungkin dia..begini..begini dan
begitu”. Begitu banyak pikiran-pikiran yang menghantuiku ketika masih menjadi
orang yang belum tahu tentang syari’at Alloh tentang cadar ini.
Sampai
suatu ketika Alloh menakdirkanku untuk mengenal sekumpulan akhwat yang
bercadar, “subhanalloh” satu kata yang terlontar dari lisanku waktu itu.
Ternyata mereka tidak seperti yang aku pikirkan selama ini, ternyata cadar
merupakan salah satu syari’at dari islam.
Berawal
dari perkenalanku dengan para akhwat, disitulah awal mula diriku mengenal ilmu
yang shohih, hari-hari kujalani dengan ilmu-ilmu yang yang selama ini kuanggap
hanya sebatas budaya dan pemikiran orang-orang belaka. Sedikit demi sedikit
kuamalkan ilmu yang telah kudapatkan, pergaulan antara lawan jenis, musik,
ikhtilath, sampai ke syarat-syarat jilbab yang syar’i pun kulalui dan
kuamalkan. Alhamdulillah, meski banyak rintangan dan cobaan dalam
mengamalkannya. Tapi begitulah perjuangan. Begitulah konsekuensi dari amalan
yang telah kita ilmui. Tapi untuk masalah cadar, ah, diriku sungguh tak
tertarik untuk menggunakannya.
Sempat
mempelajari tentang hukum dari cadar dan waktu itu berkeinginan untuk
mempelajarinya lebih dalam, tapi teringat akan ucapan bapak, “kamu boleh pakai
jilbab yang besar tapi jangan sampai bercadar. Nanti boleh bercadar kalau sudah
nikah.” Ya sudahlah mendingan aku ambil hukum yang sunnahnya saja, daripada
bapak marah. Toh nanti kalau dah nikah aku akan pakai cadar juga insya Alloh,
untuk sekarang ga usahlah, pikirku dalam hati. Akhirnya niat untuk mempelajari
hukum cadar lebih lanjutpun aku urungkan.
“Astghfirulloh,
apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah
bagi seorang laki-laki?”
Manusia
boleh berencana tapi Alloh lah yang berhak menentukan jalan hidup kita.
Alhamdulillah, hidayah Alloh datang kepadaku, yang awal mulanya diriku begitu
kekeh untuk tidak bercadar, niat untuk mempelajari hukumnya pun ogah-ogahan,
namun Alloh menakdirkan padaku untuk lebih mengetahui tentang cadar ini melalui
sebuah fitnah yang kualami di kampus. Seorang teman memberitahukan padaku bahwa
ada seseorang yang terfitnah gara-gara diriku. “Astghfirulloh, apakah jilbab
yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang
laki-laki?” Airmatapun mulai mengalir, bukan karena terharu disebabkan ada
orang yang “ngefans” tapi karena merasa bahwa diri ini adalah sumber fitnah.
Belum bisa menyempurnakan hijab, tidak bisa menjaga diri, dll. Lama diriku
merenung. “Kenapa sampai ada yang terfitnah? Toh aku tak pernah berkomunikasi
dengannya? Jangankan berbicara, senyumpun tak pernah.” Apa yang menyebabkan
semua itu??Apa??? Wajah… Ya inilah sumber dari fitnah itu… Seketika itu pun
diriku bertekad dengan kuat untuk mempelajari hukum cadar, walaupun masih
teringat dengan kata-kata bapak, namun tak mengurungkan niatku untuk belajar..
Alhamdulillah,
Alloh memudahkan jalanku untuk mempelajari ilmu tentang cadar ini, mulai dari
dukungan akhwat, cerita cerita akhwat yang memberikan motivasi, buku-buku yang
mereka pinjamkan, sampai ketika salah seorang ustadzah dari Arab datang ke kota
Serambi Madinahku buat memberikan dirosah. Sampai suatu hari ketika sang
ustadzah telah selesai memberikan dirosahnya, kulihat dirinya sedang duduk
untuk istirahat, aku pun mengajak seorang kakak untuk menemaniku berbicara
kepada ustadzah tentang masalah cadar (karena ketidaktahuanku bercakap dalam
bahasa arab, makanya minta tolong ke akhwat buat jadi penerjemahnya. Syukron wa
jazaakillahu khair buat kakak yang membantu diriku saat itu.)
Kakak
: “Adik ini ingin bertanya kepada anda wahai ustadzah, dia ingin sekali memakai
cadar namun orangtuanya melarangnya, tolong berikan nasehatmu padanya.”
Ustadzah:
“Kalau dia meyakini bahwa hukum cadar adalah wajib maka apapun konsekuensi yang
harus dia dapatkan sekalipun orangtua melarang maka dia tetap harus memakainya,
tapi ketika dia meyakini bahwa itu hanyalah sunnah maka lebih baik dia
mengikuti permintaan orang tuanya.” (Kira-kira seperti itulah percakapan mereka
kalau diterjemahkan dalam bahasa indonesia.)
Sampai
suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban.
Hemm.
Ternyata, point yang kudapatkan dari pernyataan ustadzah adalah “ilmu sebelum
berbuat”. Ya, aku harus mempelajarinya lagi lebih dalam tentang cadar (waktu
itu aku masih menganggapnya sebatas sunnah). Hari-haripun kulalui dengan
berusaha mencari tahu tentang hukum cadar. Mulai dari bertanya ke ustadz,
bertanya ke akhwat dan berbagai cara kutempuh untuk mengetahui hukum sebenarnya
dari cadar. Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah
sebuah kewajiban. Tapi bagaimana dengan orangtua? Inilah ujianku selanjutnya.
Aku harus berusaha memahamkan kepada mereka sedikit. Akhirnya akupun berusaha
menutupi wajah ini sedikit demi sedikit, walaupun belum menggunakan cadar tapi
wajah ini sering kututup dengan jilbabku ketika ada seorang laki-laki ajnabi
yang lewat dihadapanku. Dan ini berlangsung sampai beberapa hari.
Suatu
hari tiba-tiba keluargaku berkumpul di ruang keluarga, bapakku tiba-tiba
mengatakan padaku, “bapak ga mau lihat kamu pakai cadar.” Tiba-tiba suasana di
rumah menjadi tegang (ternyata selama ini bapak memperhatikanku, karena begitu
seringnya aku menutup wajahku dengan jilbab yang kupakai, sampai beliau mengira
bahwa aku telah bercadar waktu itu.) Bapak dengan berbagai ucapannya sambil
menunjuk-nunjuk ke arahku mengatakan, “bapak ga mau kamu pakai cadar!!!”
“Apapun
alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau sampai pakai cadar, kamu jadi
anak durhaka sama bapak!!!”
“Ga
usah suruh temanmu kesini lagi, kalau ada temanmu yang datang, bapak akan
usir.”
Bla..bla..bla…
Berbagai macam perkataan bapak pada diriku saat itu.” Aku bisa paham terhadap
ucapan bapak, karena memang beliau kurang paham apalagi beliau jarang
bermulazamah dengan ustadz-ustadz. Tapi yang membuatku begitu sedih adalah
ketika ibuku mendukung argumen bapak dan juga ikut-ikutan memarahiku dan melarangku.
Aku kaget, karena yang selama ini aku tahu bahwa ibu mengenal beberapa ustadz
dan teman-temanku yang bercadar. Pikirku waktu itu, ibu mungkin setuju-setuju
saja pada saat aku bercadar. Tapi ternyata, ibuku pun melarang dan ikut-ikutan
memboikotku.
Pada
hari itu, bertepatan dengan perginya bapak kembali berlayar, sebelum beliau
berangkat beliau datang ke kamarku dan mendapati diriku yang hanya bisa
menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Ingat, bapak ga mau kamu pakai cadar!!!”
Ya Alloh, sekeras itukah hati bapak, sampai tidak mau mendengarkan penjelasanku
tentang cadar, pikirku dalam hati.
Teringat
dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang
sama.
Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan tangisan di kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda usah menangis lagi.” Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melarangku bercadar. Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya. Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..
Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan tangisan di kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda usah menangis lagi.” Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melarangku bercadar. Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya. Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..
Hey,
kamu baru diuji seperti ini, masa mau nyerah begitu saja. Apa ga ingat gimana
perjuangan Rosululloh dan para shahabatnya ketika memperjuangkan islam???
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diusir oleh kaumnya sendiri, kaki
beliau berdarah-darah karena dilempar batu. Para shahabat, bahkan ada yang rela
tidak diakui oleh ibunya sendiri. Dan kamu ingat Sumayyah? Wanita syahidah pertama
yang rela disiksa oleh orang-orang kafir karena memeluk islam, hingga beliau
menemui ajalnya. Sekarang lihat dirimu??? Kalau cobaan ini saja bisa membuatmu
menyerah dan jauh dari Alloh. Kira-kira ketika kamu hidup pada zaman nabi, apa
kamu bisa menjadi salah seorang shahabiyah? Ataukah kamu adalah salah seorang
musuh dari islam?
Akupun
tersadar setelah melakukan dialog dengan diriku sendiri, segera aku ambil air
wudhu dan sholat. Dalam sholat kubaca Surah An-Nashr “innama’al ‘usri
yusro..fainnama’al ‘usri yusro” rasanya keyakinan akan pertolongan Alloh
semakin dekat itu begitu kuat. Ya, pertolongan itu akan datang fikirku.
Sampai
hari ketiga, keadaan di rumah masih tetap sama. Ibu juga nenekku masih
memboikotku. Aku masih saja berada dalam kamar sambil memikirkan cara untuk
meminta izin kembali ke bapak. Tiba-tiba teringat akan cerita salah seorang
kakak. Ketika dia ingin mengutarakan keinginannya memakai cadar kepada
orangtuanya, “dek, dulu waktu ana ingin bercadar, orangtua melarang. Namun
karena kayakinan yang mantap untuk menutup aurat secara sempurna, akhirnya
kutempuh berbagai cara meyakinkan bapak. Dan cara yang kupilih adalah
mengirimkan surat ke beliau dengan kalimat yang syahdu, “wahai ayahku. Kutulis
surat ini, bla..bla..bla. (Afwan, lupa isi suratnya.)”
Hemmm.
Tiba-tiba cara yang ditempuh sang kakak tadi, terlintas di dalam pikiranku.
Tapi bukan melalui surat, hanya sms yang bisa kukirimkan kepada bapakku untuk
menjelaskan kenapa aku ingin bercadar.
“Assalamu’alaikum, pak kabarnya gimna? Semoga bapak baik-baik saja. Maaf sebelumnya jika saya lancang sms bapak, tapi saya sms hanya ingin menjelaskan kenapa saya ingin bercadar. Maaf pak, bukannya saya ingin menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah bapak, tapi karena keinginan saya yang ingin mengikuti perintah Alloh makanya saya berani untuk memakai cadar. Saya begitu sedih ketika melihat ekspresi bapak yang begitu marah ketika mengetahui bahwa saya ingin bercadar, seakan-akan bapak sangat membenci cadar. Saya tidak ingin bapak seperti itu, karena cadar juga merupakan bagian dari syari’at islam. Dan yang saya pelajari bahwa istri-istri nabi pun pakai cadar, kalau bapak benci cadar artinya bapak juga benci istri-istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bla..bla..bla…
“Assalamu’alaikum, pak kabarnya gimna? Semoga bapak baik-baik saja. Maaf sebelumnya jika saya lancang sms bapak, tapi saya sms hanya ingin menjelaskan kenapa saya ingin bercadar. Maaf pak, bukannya saya ingin menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah bapak, tapi karena keinginan saya yang ingin mengikuti perintah Alloh makanya saya berani untuk memakai cadar. Saya begitu sedih ketika melihat ekspresi bapak yang begitu marah ketika mengetahui bahwa saya ingin bercadar, seakan-akan bapak sangat membenci cadar. Saya tidak ingin bapak seperti itu, karena cadar juga merupakan bagian dari syari’at islam. Dan yang saya pelajari bahwa istri-istri nabi pun pakai cadar, kalau bapak benci cadar artinya bapak juga benci istri-istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bla..bla..bla…
Sms
yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3
kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke
bapak.
Beberapa
saat setelah kukirimkan sms ke bapak, tiba-tiba ada sms yang masuk ke hp-ku,
tapi belum berani kubuka isinya. Sampai akhirnya hpku berdering, ketika kulihat
nama yang memanggil ternyata adalah bapakku. Sambil deg-degan kuangkat telpon
bapakku, dan siap menerima omelan dari bapak lagi karena kelancanganku untuk
meminta izin memakai cadar.
Aku
: “Assalamu’alaikum.”
Bapak:
“Wa’alaikumsalam, lagi dimana nak???”
Aku:
“Di rumah pak. Lagi di kamar.”
Bapak:
“Kamu masih nangis??”
Aku:
“I..i..iya pak. (Sambil menghapus airmata.)
Bapak:
“Bapak dah terima sms dari kamu. Kamu beneran mau pakai cadar???
“Aku:
“I..i..iyya pak..”
Bapak:
“Ya udah…kalau mau pakai cadar, pakai cadar saja. Asal hati harus lembut ya
nak…”
“Aku:
“Hah??” (Dalam keadaan yang masih belum percaya, tiba2 sikap bapak berubah 180
derajat.) Beneran pak??”
Bapak:
“Iya nak… mana mamamu? Bapak mau bicara.”
Akhirnya
bapak bicara ke ibu, dan dari percakapannya ibu mengatakan kalau bapak
mengizinkan aku pakai cadar. Ibu dilarang untuk melarangku bercadar. Masih
belum percaya dengan keputusan bapak, akupun membaca sms yang dikirimkan bapak
kepadaku sesaat sebelum beliau menelponku, “ya udah kalau kamu mau pakai cadar
bapak izinkan, ingat ya, hati harus lembut..janji ya..” Alhamdulillah, bapak
benar-benar mengizinkanku.
Dan akhirnya. Bismillah. Tepat tanggal 5 Ramadhan, aku pun keluar dari rumah pertama kali dengan menggunakan cadar yang menutupi wajahku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur di atas angkot dan airmata terus saja mengalir karena akhirnya pertolongan Alloh datang juga setelah 3 hari diriku harus menangis di kamar tanpa henti. Diboikot oleh orang tua sendiri. Yaa, akhirnya akupun memakainya. Semoga pakaian ini akan terus kukenakan hingga ajal menjemput. Amin, Allohumma amin.
“yaa
muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik.“
Serambi
madinah,13 0ktober 2009
-
shalihah.com -
0 komentar:
Posting Komentar