Makalah akad salam (akadsalam.blogspot)
BAB 1
PENDAHULUAN
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli
dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria
yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad
dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah
pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror
(untung-untungan)., Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan
berupa:Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan
dan pada waktu yang ia inginkan.Sebagaimana ia juga mendapatkan barang
dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada
saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara
yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya
tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo,
penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan
usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban
apapun.
Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena
biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan
berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh
Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah
disebutkannya syari'at jual-beli salam seusai larangan memakan riba.
BAB II
PEMBAHASAN
As-Salam secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan
Menurut al-Azhari, dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai dua arti:
al-qardhu dan as-salam. Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga
as-salaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti
menurut seluruh ahli bahasa. Hanya saja as-salaf lebih digunakan oleh
orang Irak dan as-salam digunakan oleh orang Hijaz. Disebut as-salam
karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha
mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas sesuatu dengan
karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan
belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad. Dalam Mu‘jam
al-Lughah al-Fuqahâ’ dinyatakan bay’ as-salam (forward buying) adalah
jual-beli barang yang diserahkan belakangan yang spesifikasinya dijamin
dengan harga yang diserahkan di majelis akad.
Dengan demikian, bay’ as-salam/bay’ as-salaf adalah jual-beli sesuatu
yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang dijamin diserahkan
belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika. Intinya, seseorang
menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang dijelaskan
spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan
pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo
tertentu. As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu dian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah
harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan
hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang
mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan
ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli
tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan
harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang
mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga
Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani
dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga
Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua,
misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan
kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.
Syarat-syarat terjadinya bai' as-salam adalah a) muslam
(pembeli); b) muslam ilaihi (penjual); c) modal atau uang; d) muslam fih
(barang); dan e) shighah (ucapan).
SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)Sebagaimana dapat
dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as
salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati
bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan,
tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.Adapun bila pembayaran
ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan
memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran,
pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya
dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad
seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits
berikut yang artinya :"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli
piutang dengan piutang." (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy
dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama' diantaranya Imam As
Syafi'i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)Walau demikian halnya,
banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah bulat untuk
melarang jual-beli piutang dengan piutang.Imam Ahmad bin Hambal
berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan
menjual piutang dengan piutang), akan tetapi kesepakatan ulama' telah
bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang."
Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar
pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua
belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh
karena itu, akad ini dinamakan dengan as Salam; dikarenakan adanya
pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke
dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebanarnya
penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk
praktek untung-untungan." Syarat Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang
yang Memiliki Kriteria JelasTelah diketahui bahwa akad salam ialah akad
penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka
menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang
dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini
bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah
pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi
percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.Adapun
barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya: kulit
binatang sayur mayur dll, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara
salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang
nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut yang artinya:"Bahwasannya Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan."
(Riwayat Muslim)
Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang
dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang
bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta
setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga
barang.Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A
berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen,
mutu beras, daerah asal serta jumlah barang. Masing-masing kriteria ini
mempengaruhi harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga
beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras
rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR. Adapun jumlah barang,
maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang
tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis
yang sama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda yang artinya :"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka
hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh
kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang PesananTidak aneh bila
pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan
kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang
disepakati –menurut kebanyakan ulama'- haruslah tempo yang benar-benar
mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya :"Hingga tempo yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh
TempoPada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan
untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo.
Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu
dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam
syari'at Islam.Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman
seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan
pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti
ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan),
akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal
diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan",
sebagaimana disebutkan pada hadits berikut yang artinya:"Tidak ada
kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari
perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al
Albany)Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya
Dijamin PengusahaYang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang
yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya,
maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki
kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang
dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari
orang lain.Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari
unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh
tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang
dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Inilah persyaratan akad salam secara global, dan yang –berdasarkan ilmu yang disebutkan dalam berbagai buku fiqih.
Beberapa Ketentuan as-Salam
As-Salam mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok):
shighat (ijab dan qabul)
2. al-‘âqidân (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang
memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual
(al-muslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secara syar‘i layak
melakukan tasharruf
3. al-ma‘qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam
fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam). Selain itu, ada syarat-syarat
tertentu agar as-salam itu sah, yaitu syarat-syarat yang berkaitan
dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.
Syarat-syarat berkaitan dengan al-muslam fîh adalah: Pertama, Harus
sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl), ditakar (al-mawzûn) atau
dihitung (al-ma’dûd). Karena, Allah melarang kita menjual sesuatu yang
bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki.,As-Salam adalah
jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu,
sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain.
Pembangunan Ekonomi seharusnya mampu mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan
kekeluargaan yang melekat, serta mampu memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan
bidang usaha masing-masing.
Setelah kriteria barang yang diperlukan telah disepakati, maka kelak
ketika telah jatuh tempo, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:A.
Kemungkinan Pertama: Penjual berhasil mendatangkan barang sesuai
kriteria yang dinginkan, maka pembeli harus menerimanya, dan tidak
berhak untuk membatalkan akad penjualan, kecuali atas persetujuan
penjual.B. Kemungkinan Kedua: Penjual hanya berhasil mendatangkan barang
yang kriterianya lebih rendah, maka pembeli berhak untuk membatalkan
pesanannya dan mengambil kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan
kepada penjual. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau
membuat perjanjian baru dengan penjual, baik yang berkenaan dengan
kriteria barang atau harga barang dan hal lainnya yang berkenaan dengan
akad tersebut, atau menerima barang yang telah didatangkan oleh penjual,
walaupun kriterianya lebih rendah, dan memaafkan penjual atau dengan
membuat akad jual-beli baru.Sikap apapun yang ditentukan oleh pemesan
pada keadaan seperti ini, maka ia tidak dicela karenanya. Walau
demikian, ia dianjurkan untuk memaafkan, yaitu dengan menerima barang
yang telah didatangkan penjual atau dengan memberikan tenggang waktu
lagi, agar penjual dapat mendatangkan barang yang sesuai dengan pesanan.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
artinya:
Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai keduanya, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah
senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia
menjual, ketika membeli dan ketika menagih." (Riwayat Bukhary)C.
Kemungkinan Ketiga: Penjual mendatangkan barang yang lebih bagus dari
yang telah dipesan, dengan tanpa meminta tambahan bayaran, maka para
ulama' berselisih pendapat; apakah pemesan berkewajiban untuk
menerimanya atau tidak?Sebagian ulama' menyatakan, bahwa pemesan
berkewajiban untuk menerima barang tersebut, dan ia tidak berhak untuk
membatalkan pemesanannya. Mereka berdalih bahwa: Penjual telah memenuhi
pesanannya tanpa ada sedikitpun kriteria yang terkurangi, dan bahkan ia
telah berbuat baik kepada pemesan dengan mendatangkan barang yang lebih
baik tanpa meminta tambahan uang. Sebagian ulama' lainnya berpendapat:
Bahwa pemesan berhak untuk menolak barang yang didatangkan oleh penjual,
apabila ia menduga bahwa suatu saat penjual akan menyakiti perasaannya,
yaitu dengan mengungkit-ungkit kejadian tersebut di hadapan orang lain.
Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan melakukan hal itu,
maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena penjual
telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak untuk
dicela atau disusahkan:"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At Taubah: 91) Pendapat kedua
inilah yang lebih moderat dan kuat, karena padanya tergabung seluruh
dalil dan alasan yang ada pada permasalahan ini,Sebagaimana mereka juga
berdalil dengan hikmah dan tujuan disyari'atkannya akad salam, yaitu
pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual
mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari
pemesan tersebut yang telah dibayarkan di muka. Oleh karenanya bila
tempo yang disepakati tidak memenuhi hikmah dari disyari'atkannya salam,
maka tidak ada manfaatnya akad salam yang dijalin. Pendapat kedua:
Ulama' mazhab Syafi'i tidak sependapat dengan jumhur ulama', mereka
menyatakan bahwa penentuan tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan
yang baku, sehingga dibenarkan bagi pemesan untuk memesan barang dengan
tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi harga barang, atau bahkan dengan
tidak ada tenggang waktu sama-sekali.Mereka beralasan bahwa: bila
pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup
lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi
pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak
untuk dibenarkan.
Bila kita cermati kedua pendapat di atas, maka kita dapatkan pendapat
kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita
ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang
tidak mengandung tenggang waktu pada proses penyerahan barang pesanan.
Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama' menyatakan bahwa selama
suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka
penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
Adapun hadits di atas, maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo,
sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: "Bila kalian memesan hingga
tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh
kedua belah pihak." Penafsiran ini nampak kuat bila kita kaitkan dengan
hal lain yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu timbangan dan
takaran. Para ulama' telah sepakat bahwa timbangan dan takaran tidak
wajib ada pada setiap akad salam. Timbangan dan takaran wajib diketahui
bersama bila akad salam dijalin pada barang-barang yang membutuhkan
kepada takaran atau timbangan. Adapun pada barang yang penentuan
jumlahnya dilakukan dengan menentukan hitungan, misalnya, salam pada
kendaraan, maka sudah barang tentu takaran dan timbangan tidak ada
perlunya disebut-sebut.
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua
belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat
jatuh tempo:A. Kemungkinan Pertama: Pedagang berhasil mendatangkan
barang pesanan tepat pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan
ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya. B. Kemungkinan Kedua:
Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak
menarik kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan atau
memperbaharui perjanjian, dengan membuat tempo baru. C. Kemungkinan
Ketiga: Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang telah
disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan untuk
menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal
ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan
pesanan, dan orang yang berbuat baik tidak layak untuk disalahkan:"Tiada
jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (Qs.
At Taubah: 91)Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang dibenarkan untuk
tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati,
maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan hadits
berikut:"Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang
lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan
oleh Al Albany)Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah,
buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya
pada tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah
tersebut lebih mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan
untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah
disepakati.Atau barang pesanannya membutuhkan gudang yang luas,
sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh, maka
ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang
telah disepakati.
BAB III
KESIMPULAN
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu dian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah
harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan
hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang
mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan
ucapan (sighot).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti
penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama'
telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di
muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan
kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan
apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui
penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan
barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang
dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh
tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar
barang yang dimaksud..
(akadsalam.blogspot)
0 komentar:
Posting Komentar